Palangka Raya, BetangTv News –
Semenjak bergulirnya reformasi, upaya transformasi dari pemerintahan yang tertutup menjadi pemerintahan yang terbuka mulai dilakukan. Munculnya Tap MPR no.9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menjadi salah satu bentuk dari upaya transformasi tersebut.
Pada tahun 1999 pemerintah (cq. Departemen Kehutanan) melakukan revisi atas Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menjadi Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Revisi tersebut membuka peluang untuk dilakukannya tata kelola kehutanan yang baik di Indonesia.
Akses informasi kepada masyarakat diberi landasan hukum yakni pada pasal 68 (2) poin b yang menyatakan bahwa masyarakat dapat: “Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan”.
Peluang masyarakat untuk berpartisipasi juga lebih terbuka melalui pengaturan dalam pasal 70 (3) yang menyatakan bahwa: “Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan”.
Dalam konteks ini, proses untuk menuju sebuah tata kelola kehutanan yang baik sudah mulai mendapatkan tempat dalam peraturan perundang-undangan.
Namun sangat disayangkan bahwa implementasi dari ketentuan tersebut seringkali menjadi sebuah proses birokrasi yang sulit. Salah satu tantangan yang sangat kompleks dalam konteks kehutanan adalah mengenai kepastian lahan dan wilayah kelola masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
Seharusnya, dengan sebuah sistem informasi kehutanan yang mapan dan partisipasi penuh dari segenap masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, tantangan mengenai kepastian lahan dan wilayah kelola dapat diselesaikan.
Namun ternyata permasalahannya lebih dari itu, karena pada saat penyusunan peraturan perundang-undangan kehutanan masih terdapat kepentingan sektoral yang membatasi ruang gerak masyarakat dalam mendapatkan keadilan.
Sebenarnya Undang-Undang No.41 tahun 1999 memberikan ruang agar pengelolaan hutan dilakukan secara transparan dan inklusif. Namun faktanya status hutan sudah ditentukan dalam pasal 5 (1) menjadi hanya dua status yaitu hutan hak dan hutan negara.
Posisi masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan menjadi tidak memiliki ruang gerak yang cukup karena kedudukan mereka dalam hutan menjadi tidak jelas.
Ketika kembali melihat kepada definisi bahwa pembangunan berkelanjutan adalah sebuah proses, maka sudah seharusnya bila dalam penentuan status hutan masyarakat dilibatkan sebagai sebuah proses keterlibatan seluruh pemangku kepentingan.
Namun hal tersebut tidak terjadi, dan pada akhirnya masyarakat adat dan lokal menjadi tidak berdaya walaupun tinggal dan hidup di antara sumber daya tersebut.
Berdasarkan penelitian dari DPD Jaringan Masyarakat Nusantara (Joman) Kalimantan Tengah (Kalteng) bahwa pengelolaan hutan dan lahan oleh pemerintah kabupaten masih jauh dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Pengelolaan hutan dan lahan hampir selalu tidak transparan, menutup akses dan ruang bagi publik untuk berpartisipasi, minim akuntabilitas, serta kurangnya komitmen untuk melakukan koordinasi untuk menjalankan sebuah kegiatan.
Terdapat hasil temuan yang menarik bahwa terdapat korelasi antara ketidakberesan Tata Kelola Hutan dengan deforestasi yang terjadi di tingkat kabupaten.
Sebagai contoh dari sembilan kabupaten yang diteliti oleh JOMAN maka kabupaten yang memiliki angka laju deforestasi yang tinggi memiliki indeks tata kelola yang rendah.
Sebagai contoh dalam penelitian ini adalah Kabupaten Katingan Di Kalimantan Tengah, Kabupaten Berau di Kalimantan Timur yang kehilangan hutan seluas 111 ribu hektar selama tiga tahun (2010-2012-2022) memiliki indeks tata kelola yang lebih rendah daripada Kabupaten Paser dan Sintang yang tingkat deforestasinya relatif kecil.
Kondisi ini sangat disayangkan mengingat pada era desentralisasi kewenangan terbesar dimiliki oleh pemerintah daerah dalam hal pemberian izin-izin pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan.
Kelemahan ini berdampak terhadap tumbuh subur penyalahgunaan oleh pemegang kekuasan di tingkat daerah dan terjadinya praktik-praktik korupsi dalam proses pembukaan lahan, pemberian izin usaha ke sektor swasta dan konversi hutan alam yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pemanfaatan sumber daya alam menjadi salah satu sumber pendanaan utama di daerah yang kaya sumber daya alam. Keuntungan besar yang bisa diperoleh oleh industri perkebunan serta keuntungan besar bagi pemegang konsesi tambang membuat pengambil kebijakan berduyun-duyun membagi-bagikan konsesi.
Motif mencari rente dari praktik pemberian izin telah mengalahkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Di beberapa kabupaten, pemberian izin marak mendekati masa pilkada dan tahun politik untuk membiayai agenda politik bupati dan para kroninya.
Meskipun masih ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya deforestasi, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kelemahan tata kelola hutan turut adil dalam mempercepat kehancuran sumber daya hutan.(Rilis/Joman Kalteng)