Kapuas, Betang.tv – Fajar baru saja menyapa Kuala Kapuas. Kabut tipis masih menggantung di atas Sungai Kapuas, sementara suara mesin klotok pelan-pelan memecah keheningan. Di tepi sungai, beberapa warga sudah sibuk menurunkan sayur-mayur dari perahu, sebagian lainnya menyiapkan ikan hasil tangkapan malam tadi untuk dijual di pasar. Beginilah denyut pagi di ibu kota Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah – sebuah kota yang sejak lama hidup bersama air.
Dikelilingi oleh Sungai Kapuas dan Sungai Murung, kota ini akrab disebut Kota Air. Julukan itu tak hanya menggambarkan kondisi geografisnya, tapi juga mencerminkan harapan warganya: Aman, Indah, Rapi – A.I.R. Air adalah identitas, air adalah kehidupan.
Sungai Sebagai Nadi Kehidupan
Bagi warga Kuala Kapuas, sungai bukan sekadar pemandangan. Sungai adalah jalan raya, sumber penghidupan, sekaligus ruang pertemuan sosial. Perahu dan kapal motor berderet di tepian, membawa hasil bumi dari hulu: karet, rotan, hingga hasil kebun masyarakat Dayak. Di sisi lain, sungai juga jadi arena bermain anak-anak yang sore hari riang melompat dari titian kayu, tertawa tanpa takut arus yang deras.
“Dulu sebelum ada jalan darat, semua perjalanan ke Banjarmasin lewat sungai. Sekarang sudah lebih cepat lewat jembatan, tapi sungai tetap bagian hidup kami,” tutur Ahmad, seorang nelayan berusia 54 tahun yang sejak kecil menggantungkan hidupnya pada arus Kapuas.
Memang, keberadaan Jembatan Barito di Kalimantan Selatan dan Jembatan Pulau Petak di Kuala Kapuas mengubah pola mobilitas warga. Kini jarak 46 kilometer menuju Banjarmasin bisa ditempuh dengan kendaraan darat. Meski begitu, aktivitas sungai tak pernah mati. Kapuas tetap menjadi nadi yang menyuplai kehidupan kota.
Jejak Sejarah yang Masih Hidup
Kuala Kapuas tidak hanya tumbuh dari perdagangan dan perairan. Kota ini juga menyimpan sejarah panjang yang dirayakan setiap 21 Maret – hari jadi yang didasarkan pada berdirinya Betang Sei Pasah tahun 1806. Rumah betang itu bukan sekadar bangunan kayu raksasa, melainkan simbol persatuan dan filosofi hidup masyarakat Dayak Ngaju.
Hingga kini, jejak Dayak masih terasa kuat. Sub-suku Uluh Kapuas-Kahayan dan Uluh Ots Danum, penduduk asli Kapuas, masih menjaga tradisi mereka di tengah arus modernisasi. Upacara adat, tarian, hingga kearifan lokal dalam mengelola alam menjadi identitas yang melekat erat. Kuala Kapuas adalah kota yang tumbuh modern, tetapi tetap berakar pada budaya leluhur.
Kota Satelit dengan Wajah Humanis
Posisinya yang berdekatan dengan Banjarmasin menjadikan Kuala Kapuas sebagai kota satelit. Perdagangan, pendidikan, hingga layanan kesehatan di dua kota ini saling terhubung. Namun, Kuala Kapuas memiliki wajah humanis yang khas: ramah, sederhana, dan terbuka.
Di pasar, obrolan bercampur antara bahasa Banjar dan bahasa Dayak. Di warung kopi tepian sungai, nelayan bisa duduk semeja dengan pegawai negeri, berbincang ringan tentang harga ikan atau isu-isu terbaru. Kota ini mungkin kecil jika dibandingkan Banjarmasin, tetapi justru di sanalah letak kehangatannya.
Antara Harapan dan Tantangan
Kuala Kapuas menyimpan potensi besar sebagai kota wisata sungai. Panorama air, budaya Dayak, hingga sejarah kolonial bisa dirangkai menjadi daya tarik yang unik. Namun, seperti banyak kota lain di tepian sungai, tantangan kebersihan, tata ruang, dan pengelolaan lingkungan masih membayangi.
“Kalau sungai kita tetap terjaga, Kuala Kapuas bisa jadi destinasi yang orang cari, bukan cuma tempat singgah,” kata Yanti, seorang pedagang sayur di pasar tepi sungai.
Harapan itu sejalan dengan filosofi julukan Kota Air – Aman, Indah, Rapi. Sebuah doa sekaligus tantangan agar Kuala Kapuas terus tumbuh tanpa kehilangan identitasnya sebagai kota sungai.
Hidup Bersama Air
Di setiap arus yang mengalir, Sungai Kapuas membawa cerita masa lalu dan harapan masa depan. Di tepiannya, Kuala Kapuas berdiri, meneguhkan diri sebagai kota yang hidup bersama air. Bukan hanya karena dikelilingi oleh sungai, tetapi karena sungai itulah yang membentuk denyut hidup warganya.
Kuala Kapuas adalah wajah Kalimantan Tengah di selatan: sederhana, bersahaja, namun penuh cerita. Di sini, sejarah, budaya, dan kehidupan sungai bertemu, menjadikan Kota Air lebih dari sekadar julukan – melainkan sebuah identitas yang melekat erat di hati setiap warganya.