Kota Palangka Raya menjadi saksi sejarah pada peringatan International Day of the World’s Indigenous People tahun 2025. Ribuan masyarakat adat, tokoh lintas negara, hingga pejabat pemerintahan berkumpul dalam forum internasional bertajuk “Pumpung Hai Borneo” (The Great Borneo Assembly).
Bukan sekadar seremoni, acara ini menjelma menjadi panggung persatuan Dayak dari Indonesia, Malaysia, hingga Brunei. Untuk pertama kalinya setelah lebih dari seabad, semangat Perjanjian Tumbang Anoi 1894 kembali dihidupkan—mengingatkan bahwa Dayak adalah satu rumpun besar yang selalu menjunjung perdamaian, meski dipisahkan oleh batas negara.
Betang Sebagai Titik Awal
Suasana hangat terasa di Betang Hapakat, Palangka Raya. Mimbar demokrasi yang digelar di rumah adat itu menjadi ruang penyambutan, diiringi tarian, musik sape, dan ritual adat. Di sinilah peserta mulai berdiskusi, membuka percakapan tentang isu-isu penting yang dihadapi masyarakat adat di era modern.
“Betang adalah simbol keterbukaan dan kebersamaan. Dari sinilah kita mulai bicara tentang masa depan Dayak,” ujar Agustinus Clarus, tokoh Dayak yang juga akademisi dan aktivis.
Seminar Internasional: Dayak di Mata Dunia
Puncak acara berlangsung di Kalawa Convention Hall, dibuka langsung oleh Gubernur Kalimantan Tengah H. Agustiar Sabran. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan identitas masyarakat adat.
Seminar bertema “Melindungi Eksistensi Masyarakat Adat Dayak dalam Pembangunan Berkelanjutan” menghadirkan tokoh-tokoh internasional: Jeffrey G. Kitingan (Presiden Borneo Dayak Forum dari Sabah), perwakilan Dayak National Congress, hingga delegasi pemerintah provinsi se-Kalimantan. Kehadiran mereka menandai bahwa isu masyarakat adat tidak lagi lokal, melainkan global.
Deklarasi Borneo: Menggaungkan Huma Betang
Salah satu momen bersejarah adalah penandatanganan Deklarasi Bersama antar-pemerintah daerah se-Kalimantan. Dokumen itu meneguhkan kembali nilai-nilai Huma Betang: kebersamaan, kesetaraan, gotong royong, dan harmoni.
“Hari ini kita mengirim pesan kepada dunia bahwa Dayak tidak hanya penjaga hutan dan tanah, tetapi juga penjaga peradaban yang berlandaskan perdamaian,” kata Jeffrey G. Kitingan.
Harapan untuk Generasi Muda
Lebih dari sekadar pertemuan elit, Pumpung Hai Borneo memberi ruang bagi generasi muda. Mereka diajak terlibat dalam diskusi, pameran budaya, dan aksi lingkungan. Tujuannya jelas: agar anak muda tidak tercerabut dari akar tradisi, sekaligus mampu menjawab tantangan globalisasi.
“Anak muda harus menjadi jembatan. Mereka bisa modern, tapi tetap berakar pada nilai leluhur,” tegas Petro Berita Nakalelo Leiden, Ketua Harian DPP KWD Dusmala Nasional.
Dari Palangka Raya ke Dunia
Bagi Kalimantan Tengah, tuan rumah acara ini, Pumpung Hai Borneo bukan hanya ajang kebanggaan, tetapi juga momentum diplomasi budaya. Palangka Raya meneguhkan diri sebagai pusat pertemuan masyarakat adat Dayak lintas negara.
Acara ini meninggalkan kesan mendalam: bahwa meski Dayak tersebar di lima provinsi Indonesia, Sabah dan Sarawak di Malaysia, hingga Brunei, mereka tetap satu dalam semangat persaudaraan.
Dan ketika gendang adat terakhir ditabuh, semua yang hadir menyadari: dari jantung Borneo, suara Dayak kembali bergema ke dunia—menuntut perlindungan hak-hak adat sekaligus menawarkan kearifan lokal sebagai solusi bagi masa depan bumi.
Dalam gelaran Pumpung Hai Borneo 2025 di Palangka Raya, kehadiran berbagai elemen masyarakat Dayak lintas negara terasa semakin lengkap dengan partisipasi DPP Kerukunan Warga Dayak (KWD) Dusmala Nasional. Organisasi yang menghimpun warga Dayak DAS Barito dari berbagai daerah ini ikut serta aktif dalam forum internasional tersebut, memperkuat semangat kebersamaan dan persaudaraan.
Ketua Harian DPP KWD Dusmala Nasional, Petro Berita Nakalelo Leiden, menegaskan bahwa keikutsertaan pihaknya bukan sekadar hadir sebagai undangan, melainkan juga bagian dari komitmen menjaga identitas, budaya, dan perjuangan hak-hak masyarakat Dayak.
“DPP KWD Dusmala Nasional hadir untuk memastikan suara masyarakat Dayak khususnya DAS Barito, dari akar rumput juga terwakili. Pumpung Hai Borneo ini bukan hanya milik tokoh, pemerintah, atau akademisi, tetapi juga milik seluruh keluarga besar Dayak,” ungkap Petro.
Partisipasi DPP KWD Dusmala Nasional memberi warna tersendiri dalam forum ini. Dengan basis komunitas yang luas, Dusmala diharapkan mampu menjembatani aspirasi masyarakat adat di tingkat lokal untuk diperjuangkan di ruang-ruang internasional.
*_Sumber : Agustinus Clarus (Sekjen BDF) dan Petro Berita Nakalelo Leiden (Ketua Harian KWD Dusmala Nasional_