Tamiang Layang, Betangtv, – Malam mulai larut di sebuah desa di Barito Timur. Gong dan gendang berpadu, dentumannya menggetarkan hati. Di balai adat, puluhan orang duduk melingkar, sementara aroma tuak tapai perlahan menguar. Inilah Ijame, ritual adat kematian Dayak Maanyan Paju Epat, sebuah prosesi sakral yang dipercaya menjadi jalan bagi roh orang meninggal menuju Tumpuk Datu Tunyung—sorga dalam keyakinan mereka.
Bagi orang Maanyan, kematian bukanlah akhir. Ia hanyalah gerbang menuju alam baka. Namun, perjalanan roh tidak bisa dilalui begitu saja. Melalui Ijame, mereka percaya roh akan dituntun, diperlancar, dan diterima oleh para leluhur.
Wadian dan Simbol Kebersamaan
Di tengah suasana khidmat, hadir sosok Wadian, pemimpin ritual yang sejak dahulu dipercaya sebagai penghubung antara manusia dan dunia roh. Suaranya menggema, lantunan doa bercampur dengan irama alat musik tradisional.
Salah satu momen yang paling ditunggu adalah makan bersama di Talam Besar. Tujuh perempuan mengenakan pakaian adat lengkap dengan Tatupung (hiasan kepala) menyajikan makanan di wadah kuningan besar. Semua orang makan bersama, sebuah simbol bahwa duka tak pernah ditanggung sendirian, melainkan dipikul bersama-sama.
Malam Penuh Kehidupan
Begitu malam tiba, ritual berlanjut dengan Ngu`ut Tuak Tapai atau Anning. Tuak tapai disajikan dalam tanduk kerbau dan banteng, diminum bergantian. Di sela tegukan, musyawarah digelar, gong dipukul, dan tabuhan agung menggema. Malam duka pun berubah menjadi malam kehidupan—di mana tawa, doa, dan nyanyian berkelindan menjadi satu.
Pada hari kelima, prosesi Nahu dilakukan dengan menghitamkan kayu menggunakan api. Simbolisasi ini dipercaya sebagai pembersihan, penguatan, dan pengingat bahwa setiap kehidupan pada akhirnya akan kembali kepada alam.
Ikatan Sosial yang Dikuatkan
Ijame bukan hanya soal spiritual. Lebih dari itu, ia adalah pengikat sosial. Semua orang punya peran: Pisame menyiapkan sesaji, Mantir Balai mengatur jalannya acara di balai adat, Mantir Papuyan menjaga prosesi kremasi, hingga Mantir Lio dan Mantir Tampuk Tetei yang memastikan tradisi berjalan tertib.
Semua bersatu, semua terlibat, menegaskan bahwa Ijame adalah ritual kebersamaan, bukan milik satu keluarga saja, melainkan milik seluruh komunitas.
Warisan yang Tetap Hidup
Di tengah modernisasi yang menggerus banyak tradisi, Ijame tetap bertahan. Upacara ini bukan sekadar mengenang yang telah pergi, tetapi juga memastikan generasi muda tahu dari mana mereka berasal.
“Ijame adalah jalan kita menghormati leluhur dan menjaga keseimbangan. Selama masih ada masyarakat Dayak Maanyan, tradisi ini tidak akan hilang,” ungkap salah satu tokoh adat yang ditemui.
Dengan segala prosesi, simbol, dan doa, Ijame menjelma menjadi warisan luhur yang bukan hanya mengantar roh ke alam baka, tetapi juga mengikat manusia satu sama lain dalam lingkaran kebersamaan.
Puncak Ijame: Penombakan Kerbau sebagai Ungkapan Syukur.
Puncak dari seluruh rangkaian Ijame tiba ketika keluarga besar melaksanakan ritual penombakan hewan besar, seperti kerbau. Di halaman balai adat, kerbau yang telah dihias dengan ornamen dan kain adat berdiri tegak, sementara gong bertalu semakin keras.
Teriakan semangat mengiringi detik-detik penombakan, sebuah simbol bahwa seluruh prosesi telah terlaksana dengan baik dan restu para leluhur sudah turun. Darah kerbau yang mengalir dianggap sebagai tanda penyucian sekaligus ungkapan syukur keluarga atas berkat dan kelancaran Ijame.
Kerbau bukan sekadar hewan kurban. Ia adalah persembahan tertinggi, lambang pengorbanan, dan doa agar arwah yang telah pergi benar-benar diterima di alam baka tanpa hambatan. Setelah penombakan, daging kerbau akan dibagi rata kepada seluruh warga yang hadir—melambangkan semangat berbagi dan solidaritas dalam masyarakat Dayak Maanyan. (Red)
betangTV SALURAN HIBURAN | INFORMASI | DAN BERITA


