Foto ; Hendra Jaya Pratama, Ketua DPW JOMAN Kalteng
Palangka Raya, BetangTV News, – Indonesia dianugerahi Tuhan kekayaan sumberdaya alam yang besar. Jangan sampai berkah ini malah menjadi awal dari sebuah bencana akibat salah kelola. Kesadaran semua pihak sangatlah diperlukan bahwa sumberdaya mineral adalah terbatas, dimana pada banyak kasus kita berkesempatan hanya satu kali untuk memanfaatkannya. Strategi penuh kehati-hatian dan bijaksana dalam memanfaatkannya perlu diterapkan agar berkah ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia.
Sepanjang masalah kemiskinan, terbatasnya peluang kerja, lemahnya infrastruktur pemerintah dan perilaku aparatur dan pelaku ekonomi yang mengambil manfaat pribadi serta pola hubungan curiga masih ada maka Peti akan sulit diberantas. Upaya penutupan paksa tanpa diimbangi program kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut tidak akan berhasil untuk mengurangi penambang liar.
Foto : ilustrasi lokasi pertambangan warga
Industri pertambangan batubara Indonesia tumbuh mengesankan dan telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi bangsa. Industri ini tumbuh rata-rata 14% pertahun selama untuk 1995-2000 dan tahun 2002 memberikan pendapatan pemerintah sebesar Rp. 9,4 trilyun, bersama industri pertambangan lain. Namun, kini industri ini menghadapi berbagai persoalaan yang mengancam keberlangsunganya. Salah satu persoalan adalah masalah pertambangan tanpa ijin.
Kondisi faktual memperlihatkan kegiatan pertambangan Indonesia dilakukan oleh dua kelompok: pertambangan berijin dan tidak berijin. Kelompok pertama adalah perusahan yang melakukan kegiatan setelah mendapatkan ijin pemerintah, dalam bentuk Kontrak Karya (KK), Kuasa Pertambangan (KP), SIPD atau koperasi. Kelompok kedua adalah pelaku pertambangan tanpa ijin (Peti) yang melakukan penggalian di areal perusahaan berijin dan sudah eksplorasi. Usaha Peti dilakukan oleh orang-perorang yang bermodal dan pengetahuan penambangan terbatas. Namun dalam perkembangannya didukung oleh pemodal besar.
Persoalan muncul karena wilayah kerja Peti sudah mencakup ribuan hektar, tersebar dibeberapa wilayah pertambangan Indonesia dan batubara yang dijarah sudah mencapai 10 juta ton setahun. Penambangan berijin yang dijarah menyesalkan keberadaan Peti karena telah mengurangi cadangan batubara, merusak lahan kerja dan merusak pasar batubara. Sedangkan Peti, melalui Asosiasi Penambangan Rakyat (Aspera), menganggap keberadaannya membantu pasokan batubara dan membantu masyarakat mendapatkan pekerjaan. Aspera berpendapat Peti memiliki legalitas dari kabupaten karena telah membayar royalti dan dana reklamasi.
Mengapa Peti muncul ?
Keberadaan Peti sebenarnya telah berlangsung lama. Namun, mulai marak sejak krisis ekonomi 1998, dimana sejak saat itu banyak masyarakat menambang batubara dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Terdapat 3 faktor utama, mengapa Peti muncul.
Pertama, faktor ekonomi. Masalah kemiskinan dan tidak ada alternatif sumber pendapatan lain mendorong masyarakat mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menggali bahan tambang secara liar. Hal ini diperparah dengan adanya pelaku ekonomi bermodal yang tergiur untuk mendapat rente ekonomi secara jangka pendek dengan membiayai kegiatan ini.
Kedua, faktor peraturan dan kapasitas aparatur. Tidak ada perangkat aturan dan kebijakan yang tegas, konsisten dan transparan yang mengatur usaha pertambangan termasuk diantaranya dalam perijinan, pembinaan, kewajiban dan sanksi. Lemahnya pemahaman aparat pemerintah lokal dalam pemahaman tatalaksana penambangan yang benar (good mining practices) dan perilaku aparat yang berusaha mengambil manfaat pribadi atas kegiatan Peti. Hal tersebut menjadi faktor penting tumbuhnya penambangan liar.
Ketiga, faktor pola hubungan dan kebijakan perusahaan berijin. Selama ini hubungan antara penambangan liar dan perusahaan berijin yang dijarah dilandasi oleh rasa curiga dan konflik. Dengan pola hubungan seperti ini dan penerapan kebijakan yang represif untuk mengusir Peti sesegera mungkin malah akan menjadikan Peti sulit diberantas.
Foto : ilustrasi lokasi pertambangan warga
Meski untuk jangka pendek Peti membawa manfaat berupa pemasukan PAD, penyediaan lapangan pekerjaan dan mendorong kegiatan ekonomi lokal. Namun secara jangka panjang usaha ini berpotensi membawa dampak negatif signifikan Dari berbagai potensi dampak yang ada, tiga dampak yang penting.
Pertama, dampak ekonomi makro. Keberadaan Peti berdampak negatif pada ekonomi makro berupa berkuranganya pendapatan daerah atau negara. Meski dinyatakan Peti membayar Rp. 6.000-15.000 per ton batubara, namun jumlah ini lebih kecil dibandingkan andai dikelola oleh penambang resmi, KK atau KP. Paling tidak ada 13 kewajiban finansial perusahaan KK, diantaranya pajak perusahaan dan royalti. Perusahaan KK membayar pajak 30% keuntungan dan royalti berkisar Rp. 30.000-45.000 perton. Keberadaan Peti juga telah mengancam masuknya investor asing dan lokal. Data Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral memperlihatkan sejak tahun 2000, tidak ada investor asing yang berinvestasi disektor pertambangan. Salah satu sebab adalah kekuatiran investor bahwa keberadaan Peti akan mengancam usahanya.
Industri pertambangan harus mengubah pola hubungannya dengan Peti dari rasa curiga dan represif menjadi hubungan bersifat kolaboratif. Sebagai contoh, perusahaan Placer Dome berhasil mengatasi persoalan Peti di tambangnya di Venezuela dengan menerapkan strategi ini secara bertahap, yakni: passive accomodation, constructive engagement dan akhirnya colaborative relations.
LSM perlu dilibatkan untuk berperan sebagai mediator dalam membangun hubungan lebih konstruktif antara penambang resmi, Peti dan pemerintah. Bahkan beberapa organisasi seperti Commununities and Small Scale Mining (CASM), Departement for International Development (UK) atau World Bank dapat memberikan bantuan teknik atau finansial untuk menangani persoalan Peti.
Lembaga riset dan perguruan tinggi berperan untuk mengkaji pemanfaatan teknologi murah dan tepat guna untuk dapat digunakan Peti agar dapat memitigasi dampak negatif yang ditimbulkan. Lembaga ini dapat pula membantu menguatkan kapabilitas dan kapasitas aparat daerah dalam hal pengetahuan pengelolaan kegiatan pertambangan dalam bentuk pelatihan. (RIL-RED)