Sungai Barito, Nadi Kehidupan dari Pegunungan Muller hingga Laut Jawa


Di jantung Pulau Kalimantan, terbentang sebuah sungai raksasa yang tak hanya menjadi alur air, tetapi juga nadi kehidupan masyarakatnya. Sungai itu bernama Barito, atau dalam sebutan lain dikenal sebagai Sungai Dusun.

Barito berhulu di Pegunungan Schwaner, Kalimantan Tengah, mengalir melintasi hutan-hutan tropis, perbukitan, hingga memasuki kota-kota kecil yang tumbuh di sepanjang alirannya. Sungai ini lalu bertemu dengan Muara Sungai Negara di Kalimantan Selatan, sebelum akhirnya bermuara ke Laut Jawa melalui kawasan Kuala Banjar.

Dengan panjang antara 890 hingga 1.090 kilometer, Barito termasuk salah satu sungai terpanjang di Indonesia. Alurnya membelah dua provinsi—Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan—serta melewati tiga kabupaten besar di Kalteng: Barito Selatan, Barito Utara, dan Murung Raya.

Nama dan Sejarah

Nama Barito sendiri memiliki akar sejarah. Ia diambil dari sebutan Tanah Barito atau Onder Afdeeling Barito, sebuah wilayah administratif pada masa kolonial Belanda, yang berpusat di Muara Teweh (kini ibu kota Kabupaten Barito Utara). Seiring waktu, nama Barito bukan hanya merujuk pada daerah tertentu, tetapi digunakan untuk menyebut seluruh daerah aliran sungai (DAS) yang membentang hingga ke muaranya di Laut Jawa.

Jalan Raya Air dan Saksi Sejarah

Bagi masyarakat Kalimantan, Barito lebih dari sekadar sungai—ia adalah jalan raya air. Pada era 1970-an hingga awal 2000-an, sebelum jalan darat berkembang, Barito menjadi jalur utama transportasi antarwilayah. Kapal motor, kelotok, hingga speedboat hilir mudik membawa orang, hasil bumi, dan kebutuhan pokok dari Murung Raya hingga ke Banjarmasin.

 

Namun jauh sebelum itu, Barito juga menjadi saksi sejarah perkembangan transportasi sungai di Kalimantan. Pada masa kolonial hingga awal kemerdekaan, sungai ini pernah dilayari kapal bermesin uap, menjadikannya jalur vital penghubung pedalaman dengan pesisir.

Seiring waktu, hadir kapal-kapal bermotor legendaris yang hingga kini masih dikenang masyarakat sungai. Nama-nama seperti KM Kembang Indah, KM Barito Agung, KM Indah Sentosa, KM Merpati Indah, KM Surya, hingga KM Rocky, pernah menjadi raja jalur air Barito. Kapal-kapal itu bukan sekadar alat transportasi, tetapi simbol modernitas pada masanya—membawa barang dagangan, kayu, hingga penumpang dalam jumlah besar, sekaligus membuka keterisolasian daerah pedalaman.

“Dulu kalau naik KM Kembang Indah ke Banjarmasin, perjalanan bisa sampai berhari-hari. Tapi suasananya ramai, ada orang jualan, ada hiburan di dek. Itu pengalaman yang tak bisa dilupakan,” kenang seorang warga Puruk Cahu.

Dari Rakyat ke Batubara

Kini wajah Sungai Barito berubah. Fungsi transportasi rakyat perlahan bergeser, tergantikan oleh jalan darat yang lebih cepat dan efisien. Barito kini lebih sering menjadi jalur tongkang batubara raksasa yang mengalir tanpa henti menuju hilir.

Meski begitu, bagi banyak orang, Barito tetap menyimpan nostalgia. Tentang deru mesin kapal uap di masa lalu, tentang kepulan asap hitam di cakrawala sungai, hingga tentang kapal-kapal legendaris yang pernah membelah arusnya.

Sungai Identitas

Barito bukan hanya soal ekonomi atau transportasi. Ia adalah identitas budaya. Di sepanjang alirannya tumbuh komunitas Dayak, Banjar, hingga pendatang, yang menjadikan sungai sebagai pusat kehidupan: tempat mandi, mencuci, mencari ikan, hingga menggelar upacara adat.

Dengan bentangan panjang dan sejarah yang kaya, Sungai Barito seolah menyatukan dua dunia: yang lama dan yang baru. Dari kapal uap ke tongkang batubara, dari kehidupan tradisional ke roda industri modern.

Dan hingga kini, Sungai Barito tetap mengalir—sebagai saksi bisu perjalanan Kalimantan dari masa ke masa. (Red)


Periksa Juga

Paroki Katedral Santa Maria Palangka Raya: Enam Dekade Lebih Menjadi Rumah Iman dan Persaudaraan

        Pengunjung : 221 Palangka Raya, Betang.tv, – Umat Katolik di Kota Palangka Raya bersyukur …