OPINI – Polemik perizinan pertambangan Zirkon di Kalimantan Tengah kian memanas. Di satu sisi, tambang rakyat menjadi penopang ekonomi masyarakat di pelosok. Di sisi lain, ketiadaan regulasi daerah membuat aktivitas ini dianggap ilegal dan berpotensi menyeret banyak pihak ke ranah hukum.
Sejak lama, ribuan warga Kalteng menggantungkan hidup pada usaha tambang rakyat, termasuk Zirkon. Hasilnya bukan hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menjadi sumber biaya pendidikan anak-anak mereka. Namun, tanpa dasar hukum yang jelas, usaha tersebut kini berada di ujung tanduk.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah saat ini tengah meninjau ulang kebijakan pertambangan Zirkon. Aktivitas yang tidak berpayung hukum resmi dinyatakan ilegal. Investor yang selama ini menggerakkan roda perekonomian pun ikut terseret dalam pusaran konflik kepentingan, membuat masyarakat kecil berpotensi menjadi korban utama.
Masalah utama terletak pada ketiadaan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di tingkat daerah. Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, beserta aturan turunannya—PP 96/2021, PP 25/2024, hingga Perpres 55/2022—sudah memberi ruang bagi provinsi untuk mengatur. Namun, hingga kini Kalteng belum memiliki Perda yang mengatur tata kelola pertambangan rakyat.
Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kalteng bersama Pemprov sedang membahas Rancangan Perda (Raperda) terkait pertambangan mineral bukan logam, termasuk mineral jenis tertentu seperti Zirkon. Ketua Pansus, Siti Nafsiah, menegaskan isu paling krusial adalah pengaturan IPR. Menurutnya, konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri hingga belajar dari daerah lain, seperti Jawa Tengah, diperlukan agar regulasi yang dibuat tidak melampaui kewenangan daerah sekaligus tetap aplikatif di lapangan.
“Raperda ini harus sah secara formil sekaligus mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Payung hukum ini penting agar kegiatan pertambangan rakyat tidak lagi dianggap ilegal,” ujarnya.
Nafsiah menekankan urgensi pengesahan Raperda ini, terutama karena munculnya kasus hukum yang kini ditangani Kejaksaan Tinggi Kalteng terkait dugaan korupsi ekspor Zirkon, Ilmenit, dan Rutil. Kasus tersebut menguak adanya praktik pembelian hasil tambang rakyat yang tidak jelas sumbernya, meski pelakunya memiliki Izin Usaha Pertambangan resmi.
Situasi ini menunjukkan lemahnya regulasi daerah, sekaligus membuka celah penyalahgunaan kewenangan. Tanpa Perda yang kuat, masyarakat, pengusaha, bahkan pemerintah daerah sendiri akan terus terjebak dalam polemik hukum.
Ke depan, kehadiran Perda pertambangan mineral bukan logam di Kalteng bukan hanya sekadar formalitas. Regulasi tersebut harus menjadi pijakan yang memberi kepastian hukum, menekan praktik tambang ilegal, dan memastikan pengelolaan sumber daya alam berjalan transparan, berkelanjutan, serta benar-benar berpihak pada kesejahteraan masyarakat. (Red)
betangTV SALURAN HIBURAN | INFORMASI | DAN BERITA
