KEHILANGAN LANSIA
(Sebuah permenungan, dalam Rangka Hari Lansia Tahun 2022)
Dr.Marselinus Heriteluna, S.Kp, MA*)
mheriteluna@poltekkes-palangkaraya.ac.id
Menurut Teori Penarikan Diri ( Disengagement Theory), usia lanjut merupakan proses bergerak secara perlahan dari individu untuk menarik diri dari pesan sosial atau dari konteks sosial. Keadaan ini menyebabkan interaksi individu yang lanjut usia mulai menurun, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Pada usia lanjut sekaligus terjadi Triple Loss,yaitu (a) kehilangan peran (loss of role), (b) hambatan kontak sosial (restriction of contacts and relationships), dan (c) berkurangnya komitmen (reduced commitment to sosial mores and values).
Menurut Hardywinoto dan Toni Setiabudhi (2005:112) tidak semua lanjut usia mengeluh macam –macam dan bila ada keluhan yang dikemukakan individu lanjut usia, perlu diinterprestasikan secara berbeda. Karena setiap keluhan tersebut, kendatipun memiliki masalah penyakit yang sama, namun akan muncul secara berbeda bergantung pada kematangan pribadi dan situasi sosial ekonomi lanjut usia masing-masing. Untuk merinci ulang, peran individu usia lanjut ini dapat ditemukan dalam beberapa hal sosial berikut.
Pertama, menjadi lanjut usia memiliki hak untuk menarik diri dari peran-peran sosial. Kewajiban sosial seperti bekerja, bergaul di masyarakat, partisipasi pembangunan merupakan beberapa contoh nyata yang kemudian dilepaskan peran dirinya.
Kedua, memunculkan peran orang lain untuk menunjukkan peran dan kepeduliannya terhadap individu usia lanjut. Kendatipun masih kontroversi, namun sikap dan peran orang lain terhadap lanjut usia ini berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Bagi Negara Barat, mereka lebih banyak mengambil sikap untuk memindahkan peran perhatian kepada lanjut usia kepada pihak ketiga (pemerintah atau lembaga sosial), sedangkan di lingkungan masyarakat Timur (misalnya Indonesia) pemeliharaan orang lanjut usia itu menjadi masih kewajiban anak-cucunya, walaupun sudah dapat kita temukan perubahan pola ini.
Ketiga,setelah menginjakkan diri pada usia lanjut, seorang individu akan memulai untuk melepaskan hak dan kepemilikannya terhadap berbagai sumber produksi. Hukum waris merupakan hukum pemindah hak secara menyeluruh dari orang lanjut usia (menjelang kematian) kepada generasi berikutnya.
Implikasi dari transisi penyerahan hak dan kepemilikan ini, menyebabkan lahirnya kewajiban “calon penerima” kepemilikan sumber produksi (harta) individu lanjut usia untuk memberikan kewajiban pemeliharaan kepada dirinya. Artinya, selama masih hidup ini, seorang anak cucu yang akan mendapatkan hak waris sesungguhnya memiliki kewajiban untuk memelihara kesehatan individu lanjut usia, baik dari sisi kesehatan jasmaniah, maupun emosi dan spiritualnya.
Masalah kesehatan lanjut usia , ada dua pandangan yang berbeda dalam menjelaskan fenomena yang sama, yaitu lingkaran kehidupan negatif (negative life cycle) dan lingkaran kehidupan positif (positive life cycle).
Menurut sudut pandang negative life cycle, individu lanjut usia dipersepsi sebagai individu yang mengalami pengurangan ketahanan fisik, mental dan peran sosial. Sehingga kemudian anggota keluarga atau masyarakat mencapnya sebagai individu yang sudah memasuki masa kurang produktif dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain.
Pandangan ini berbeda dengan sudut pandang positive life cycle yang melihat fase lanjut usia sebagai kelanjutan dari peran sosial masyarakat di masyarakat. Dalam lingkaran kehidupan positif, misi utamanya adalah mempertahankan keutuhan dan kesatuan pada lanjut usia. Oleh karena itu, upaya intervensi baik dari sisi medis, sosial medis, sosial, dan pendidikan menjadi sangat penting bagi individu lanjut usia.
Masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut, merupakan salah satu kondisi kehilangan terutama dirasakan oleh wanita ketika masa usia suburnya berakhir atau ketika mengalami menopause dan kalangan pria pun mengalami ancaman andropause. Menopause adalah keadaan pada wanita yang mengalami penurunan fungsi indung telur, yang berakibat menurunnya produksi hormone estrogen. Keadaan ini antara lain mengakibatkan terhentinya haid untuk selamanya. Usia menopause wanita Indonesia sekitar usia 49 tahun (2000). Sementara andropause adalah penurunan fungsi seksual dan kesuburan laki-laki yang sudah mencapai usia lanjut dan kondisi ini mulai dirasakan oleh laki-laki Indonesia ketika menginjakkan usia pada 55 tahun.
Individu yang berada pada fase menjelang kematian (sakaratul maut) sesungguhnya masih tetap sebagai anggota masyarakat dan bahkan dalam konteks budaya, orang yang sudah meninggal dan dikuburkan pun masih dianggap sebagai bagian dari anggota masyarakat dan berhak untuk mendapatkan peran dan/atau hak sosialnya sendiri.
Pada sisi lain, Norma W.Rigth (2000:156) merinci ada 6 tahap tanggapan seseorang ketika kehilangan orang yang dicintainya. Tahapan tersebut yaitu (1) terguncang dan menangis, (2) merasa bersalah (3) memusuhi, misalnya memusuhi dokter atau perawat yang tidak mampu menyelamatkannya, (4) melakukan kegiatan dengan gelisah, (5) hilangnya makna-makna kegiatan yang biasa, dan (6) mengidentifikasi diri dengan orang yang meninggal, misalnya dengan memunculkan keinginan utuk melanjutkan program dari orang yang meninggal. Granger Westberg memperluas 6 tahap tersebut ke dalam 10 dukacita, yaitu guncangan, pelepasan emosi, depresi dan kesepian, susah, gelisah, perasaan bersalah, perasaan bermusuhan dan dendam, ketidakmampuan melakukan kegiatan yang lazim, harapan, dan perjuangan untuk memperkokoh realitas.
Engel (1964) mengidentifikasi enam tingkatan berduka, yaitu syok, tidak yakin, mengembangkan kesadaran diri, restitusi, mengatasi kehidupan, idealisasi, dan hasil. Schulz (1978) membagi proses berduka ke dalam tiga fase, yaitu fase awal, pertengahan, dan akhir dari beberapa pandangan tersebut, dapat dikemukakan penjelasan yang lebih rinci mengenai tahapan seseorang ketika mendekati ajal (kematian) bahwa terdapat tahapan psikologis yang terjadi.
Pertama, penolakan terhadap kenyataan. Pasien menolak informasi yang diberikan atau penyakit yang sedang diterima saat itu. Penolakan ini ditujukan pula terhadap Tuhan yang dipersepsikan tidak adil terhadap dirinya.
Kedua, mengalami depresi. Informasi dan kenyataan yang diterimanya saat itu menyebabkan dirinya tertekan dan menarik diri dari lingkungan sosial.
Ketiga, setelah adanya komunikasi dan interaksi dengan berbagai pihak muncul sebuah kesadaran baru. Sumber dari kesadaran ini, bisa berasal dari persepsinya mengenai ketidakmampuan diri dan orang lain untuk menyembuhkan atau juga disebabkan karena adanya kesadaran terhadap peran dirinya yang baru. Pada tahap ini, orang yang berada pada tahap fase sakit keras akan berusaha untuk menjalin komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Permohonan maaf menjadi bagian nyata dalam budaya masyarakat Timur.
Keempat, dengan kesadaran yang penuh, orang yang sedang sakit keras ini atau menjelang sakaratul maut ini akan memohon izin untuk dilepaskan dari berbagai tanggung jawab sosialnya, baik yang menyangkut masalah kekayaan atau keluarga dan peran sosialnya.
Kelima, setelah melakukan hal tersebut, sampailah pada kerelaan diri untuk memutuskan tanggung jawab diri terhadap diri, keluarga, dan masyarakatnya. Berdasarkan tahapan seperti ini, dapat disimpulkan bahwa kematian merupakan fase pelepasan tanggung jawab diri terhadap diri dan lingkungan sosialnya.
Model Kübler-Ross, yang juga dikenal dengan sebutan Lima Tahapan Kedukaan (The Five Stages of Grief), yaitu (1) Penyangkalan (Denial) “Saya merasa baik-baik saja.”; “Hal ini tidak mungkin terjadi, tidak pada saya.” Penyangkalan biasanya merupakan pertahanan sementara untuk diri sendiri. Perasaan ini pada umumnya akan digantikan dengan kesadaran yang mendalam akan kepemilikan dan individu yang ditinggalkan setelah kematian..
(2) Marah (Anger) “Kenapa saya ? Ini tidak adil!”; “Bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi pada saya?”; “Siapa yang harus dipersalahkan?” Ketika berada pada tahapan kedua, individu akan menyadari bahwa ia tidak dapat senantiasa menyangkal. Oleh karena kemarahan, orang tersebut akan sangat sulit untuk diperhatikan oleh karena perasaan marah dan iri hati yang tertukar. (3) Menawar (Bargaining) “Biarkan saya hidup untuk melihat anak saya diwisuda.”; “Saya akan melakukan apapun untuk beberapa tahun.”; “Saya akan memberikan simpanan saya jika…” Tahapan ketiga melibatkan harapan supaya individu dapat sedemikian rupa menghambat atau menunda kematian. Biasanya, kesepakatan untuk perpanjangan hidup dibuat kepada kekuasaan yang lebih tinggi dalam bentuk pertukaran atas gaya hidup yang berubah. Secara psikologis, individu mengatakan, “Saya mengerti saya akan mati, tetapi jika saja saya memiliki lebih banyak waktu…” (4) Depresi (Depression) “Saya sangat sedih, mengapa perduli dengan lainnya?”; “Saya akan mati .. Apa keuntungannya?”; “Saya merindukan orang saya cintai, mengapa melanjutkan?” Pada tahapan keempat, penderita yang sekarang, menolak dibesuk dan menghabiskan banyak waktu untuk menangis dan berduka. Proses ini memberikan kesempatan kepada pasien yang sekarat untuk memutus hubungan dengan sesuatu yang dicintai ataupun disayangi. Tidak disarankan untuk mencoba menghibur individu yang berada pada tahapan ini. Ini merupakan waktu penting untuk berduka yang harus dilalui. (5) Penerimaan (Acceptance) “Semuanya akan baik-baik saja.”; “Saya tidak dapat melawannya, Saya sebaiknya bersiap untuk hal itu.” Ini merupakan tahapan terakhir, individu tiba pada kondisi sebagai mahluk hidup atau kepada yang dicintainya. (Wikipedia, 2022)
Bagi seseorang perawat atau tenaga medis dan juga anggota keluarganya, memiliki kewajiban khusus dalam menghadapi kematian orang tersebut.
Pertama, setiap orang yang akan ditinggalkan perlu memberikan kerelaannya untuk melepas seluruh tanggung jawab sosial orang yang tengah menghadapi kematian, termasuk melepaskan beban-beban hidup yang lainnya.
Kedua, membantu kelancaran perjalanan individu yang akan menempuh jalan hidup yang baru. Dari sisi agama (Islam) seorang muslim-termasuk perawat atau dokter-dituntut untuk memberikan bimbingan spiritual (talqin mayit) menjelang kematian seseorang.
Ketiga, mayat memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang maksimal, dari mulai penghormatan, pemandian, peribadatan, dan penguburan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam konteks nilai budaya, orang yang sudah meninggal ini pun ternyata masih memiliki hak khusus dalam kehidupan sosial. Misalnya saja, di tanah jawa terdapat tradisi “ sesajen” untuk roh-roh nenek moyang atau para leluhurnya, yang diyakini masih hadir di waktu-waktu tertentu untuk melihat kehidupan para keluarganya.
Bahkan, tradisi tahlilan, empat puluhan (patang puluh) dan seratus hari (ngatus) setelah kematian merupakan tradisi-tradisi lain yang juga terkait dengan adanya hak orang meninggal untuk mendapat penghormatan dari orang yang ditinggalkannya.
Berbagai uraian di atas menggambarkan fenomena kehilangan yang dirasakan oleh lansia, Namun lansia yang telah mempersiapkan dirinya sejak masa mudanya, akan dapat melaluinya dengan baik dan akan menjalani masa tua dengan baik. SELAMAT HARI LANSIA, SEMOGA SELALU SEHAT
*) Praktisi Pendidikan
Sumber:
- Setiabudhi, Tony. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai Aspek Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
- Nugroho, Wahjudi SKM. 1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta : EGC
- Sahar juniati (2001) keperawatan gerontik, coordinator keperawatan komunitas, fakultas ilmu keperawatan UI, Jakarta
- Wikipedia