Oleh: Muhammad Akmal Firdaus
(Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Palangka Raya)
Betang.tv- Industri perfilman Indonesia mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk
dalam mengangkat isu kesehatan mental. Film-film seperti Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI),
Posesif, dan series Nightmares and Daydreams mencoba membuka dialog tentang depresi, anxiety, dan trauma.
Namun, pertanyaan pentingnya: apakah representasi yang ditampilkan sudah tepat dan bertanggung jawab?
Kemajuan yang Patut Diapresiasi
Tidak bisa dipungkiri, kehadiran tema kesehatan mental di layar lebar Indonesia adalah langkah maju. Dahulu, gangguan mental sering digambarkan secara stereotipikal—sebatas “orang gila” yang dikurung di rumah sakitj iwa atau menjadi bahan komedi. Kini, film-film Indonesia mulai menggambarkan spektrum kesehatan mentaly ang lebih luas dan manusiawi.
NKCTHI, misalnya, berhasil menunjukkan bagaimana trauma masa kecil dan ekspektasi keluarga dapatm empengaruhi kesehatan mental seseorang. Film ini membuka ruang diskusi tentang pentingnya komunikasi dalam keluarga dan dampak toxic parenting terhadap anak.
Masalah dalam Representasi
Namun, di balik kemajuan ini, masih banyak masalah yang perlu disorot:
1. Romantisasi dan Simplifikasi
Beberapa film cenderung meromantisasi kesehatan mental sebagai sesuatu yang “estetik” atau “quirky”.
Karakter dengan anxiety disorder digambarkan sebagai sosok yang menarik dan misterius, bukan sebagai individu yang benar-benar berjuang dengan kondisinya. Ini berbahaya karena dapat menciptakan persepsi keliru bahwa gangguan mental adalah sesuatu yang “keren” atau sekadar fase remaja.
2. Kurangnya Riset dan Konsultasi Profesional
Banyak film yang menampilkan gejala-gejala kesehatan mental tanpa konsultasi mendalam dengan psikolog atau psikiater. Akibatnya, representasi yang muncul sering kali tidak akurat. Misalnya, penggambaran serangan panik yang terlalu dramatis atau proses penyembuhan yang digambarkan terlalu cepat dan mudah—cukup dengan satu kali konseling atau dukungan teman.
3. Stigma yang Masih Tertanam
Ironisnya, beberapa film yang mengklaim membela kesehatan mental justru memperkuat stigma. Karakter dengan gangguan mental masih sering digambarkan sebagai “beban” bagi orang di sekitarnya, atau sebagai seseorang yang “lemah” dan perlu “diselamatkan” oleh karakter lain. Narasi savior complex ini problematis karena mengabaikan agency dan kekuatan individu yang mengalami gangguan mental.
4. Minimnya Representasi Pengobatan Profesional
Jarang sekali film Indonesia menunjukkan proses terapi atau konsultasi dengan profesional kesehatan mental secara realistis. Padahal, ini penting untuk menormalisasi pencarian bantuan profesional di masyarakat. Yang sering muncul justru solusi “sembuh karena cinta” atau “sembuh karena kuat sendiri”—narasi yang berbahaya dan tidak realistis.
Tanggung Jawab Media Massa Sebagai mahasiswa ilmu komunikasi, kita memahami bahwa media memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik. Teori kultivasi George Gerbner menjelaskan bahwa paparan media yang berulang dapat membentuk pandangan audiens tentang realitas sosial. Ketika film-film Indonesia terus-menerus menampilkan representasi kesehatan mental yang tidak akurat, ini akan membentuk pemahaman masyarakat yang keliru.
Di sinilah tanggung jawab sineas dan pembuat konten menjadi krusial. Mereka tidak hanya berkewajiban membuat karya yang menghibur, tetapi juga memastikan bahwa representasi yang ditampilkan tidak merugikan kelompok yang direpresentasikan.
Rekomendasi untuk Representasi yang Lebih Baik Untuk meningkatkan kualitas representasi kesehatan mental di film Indonesia, beberapa langkah dapat
dilakukan:
1. Melibatkan Konsultan Profesional: Setiap produksi yang mengangkat tema kesehatan mental harus melibatkan psikolog atau psikiater sebagai konsultan.
2. Riset Mendalam: Pembuat film perlu melakukan riset etnografi dan wawancara dengan orang-orang yang benar-benar mengalami gangguan mental untuk mendapat perspektif autentik.
3. Diversitas Representasi: Tunjukkan berbagai spektrum kesehatan mental, tidak hanya depresi dan anxiety, tetapi juga bipolar disorder, OCD, PTSD, dan lainnya.
4. Menghindari Trope Berbahaya: Hindari narasi seperti “sembuh karena cinta”, savior complex, atau romantisasi penderitaan.
5. Menampilkan Proses Penyembuhan Realistis: Tunjukkan bahwa penyembuhan adalah proses panjang yang membutuhkan bantuan profesional, bukan sekadar dukungan moral.
Kesimpulan
Representasi kesehatan mental di film Indonesia memang mengalami kemajuan, tetapi masih jauh dari tepat.
Masih banyak stereotip, simplifikasi, dan romantisasi yang dapat merugikan persepsi publik tentang kesehatan mental. Sebagai konsumen media yang kritis, kita perlu terus mempertanyakan dan mengevaluasi representasi yang ditampilkan. Sebagai calon praktisi komunikasi, kita memiliki tanggung jawab untuk menciptakan dan mendorong representasi yang lebih akurat, bertanggung jawab, dan memberdayakan.
Kesehatan mental bukan sekadar tren atau bumbu dramatisasi. Ini adalah isu serius yang mempengaruhi jutaan orang Indonesia. Sudah saatnya industri film kita memperlakukannya dengan keseriusan dan ketelitian yang
sepantasnya.
Referensi:
Gerbner, G. (1998). Cultivation Analysis: An Overview
American Psychological Association. (2019). Reporting on Mental Health Conditions
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 tentang prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia
betangTV SALURAN HIBURAN | INFORMASI | DAN BERITA
