Ancaman Nyata Kebebasan Pers Masih Marak di Tanah Air

  •  
  •  
  •  
  •  
  •   
  •  

Jakarta, BetangTv News – Kekerasan yang menimpa para jurnalis atau insan pers saat meliput unjuk rasa penolakan Undang-undang (UU) Cipta Kerja di berbagai daerah di Indonesia menambah catatan buruk dan ancaman nyata bagi iklim kebebasan pers di tanah air.

Terkait hal itu, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menerima laporan daftar jurnalis yang mengalami kekerasaan saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Ibukota dan berbagai daerah di Tanah Air.

Hingga hari ini, data yang dikumpulkan IJTI sebanyak 18 jurnalis yang mengalami tindak kekerasan dalam peliputan aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja, diantaranya:

– Tarakan, Kalimantan Timur:
Arif Rusman (Reporter TVRI Kaltim).
Ifransyah (Fotografer Radar Tarakan).

– Lampung:
Angga (jurnalis Metro TV).
Hari Ajahar (jurnalis Radar Lampung Radio).
Syahrudin (jurnalis lampungsegalow.co.id) dan Heridho (jurnalis Lampungone.com).

– Palu, Sulawesi Tengah:
Alsih Marselina (Wartawati SultengNews.com).
Aldy Rifaldy (Wartawan SultengNews.co) dan Fikri (Wartawan Nexteen Media).

– Medan, Sumatra Utara:
Raden Armand (reporter Indozone.id.).

– DKI Jakarta:
Tohirin (Jurnalis CNNIndonesia.com).
Peter Rotti, (wartawan Suara.com).
Ponco Sulaksono (jurnalis Merahputih.com).
Aldi (jurnalis Radar Depok).
Kiagus (Jurnalis RTMC Poldametro).
Qolbee Freelance.
Willy (Jurnalis Berdikari) dan Ismu (jurnalis Berdikari).

Adapun kronologisnya sebagai berikut:

Di Tarakan, Kalimantan Timur dua jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput unjuk rasa di depan kantor DPRD Tarakan pada Rabu, (7/10).

Kedua jurnalis tersebut yakni Arif Rusman (Reporter TVRI Kaltim) dan Ifransyah (Fotografer Radar Tarakan). Kedua jurnalis ini terkena tembakan water canon aparat saat tengah menagmbil gambar, selain mengalami luka-luka, satu perangkat liputan berupa kamera juga rusak.

Di Lampung, setidaknya empat jurnalis yang mengalami kekerasan saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.

Ke empat jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi yakni Angga (jurnalis Metro TV), Hari Ajahar (jurnalis Radar Lampung Radio), Syahrudin (jurnalis lampungsegalow.co.id) dan Heridho (jurnalis Lampungone.com), para jurnalis ini mendapat intimidasi dan kekerasan dari sejumlah aparat polisi berpakai preman. Intimidasi berupa bentakan dan memaksa agar menghapus rekaman video.

Di Palu, Sulawesi Tengah kekerasan dialami tiga jurnalis Alsih Marselina (Wartawati SultengNews.com), Aldy Rifaldy (Wartawan SultengNews.co) dan Fikri (Wartawan Nexteen Media).

Mereka menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi penolakan Undang-undang Cipta Kerja di Palu, Kamis, (8/10/2020).

Saat itu ketiga jurnalis tengah meliput demonstrasi ribuan mahasiswa di Jalan Samratulangi, hingga kericuhan antara polisi dan mahasiswa terjadi.

Alsih, Aldy Rifaldy berusaha menyelamatkan diri di barikade kepolisian. Namun mereka malah dintimidasi dan dipukuli, meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis. Sedangkan Fikri kameranya rusak di bagian viewfinder dan bodi kamera, karena dibanting polisi berpakaian preman.

Di Kota Medan Sumatra Utara seorang jurnalis dari media online juga menjadi korban kekerasan dan intimidasi anggota polisi. Kejadian ini menimpa Raden Armand, reporter Indozone.id.

Saat itu ia tengah mengabadikan momen bentrokan antara pendemo dan aparat polisi. Tiba tiba yang bersangkutan dipaksa dan dintimidasi agar menghapus foto-foto yang diambil.

Sementar itu di Ibukota sedikitnya ada delapan jurnalis yang menjadi korban kekerasan serta intimidasi saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja beberapa hari lalu. Ke delapan jurnalis itu yakni, Jurnalis CNNIndonesia.com Tohirin, kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan oleh polisi.

Peter Rotti, wartawan Suara.com ponselnya dirampas aparat berpakaian preman karena menolak saat diminta menghapus video dan foto unjuk rasa yang diambil.

Selain itu sejumlah jurnalis lainnya yang mengelami kekerasan dan intimidasi serta sempat ditahan di Polda Metro Jaya yakni Ponco Sulaksono (jurnalis Merahputih.com) Aldi (jurnalis Radar Depok), Kiagus (Jurnalis RTMC Poldametro), Qolbee freelance, Willy (Jurnalis Berdikari), Ismu (jurnalis Berdikari).

Atas kekerasan dan intimidasi yang menimpa para jurnalis di berbagai daerah saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Mengutuk dan mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepada para jurnalis di berbagai daerah.
2. Mendesak Kapolri agar menyelidiki dan memeriksa anggotanya yang diduga terlibat dalam aksi kekerasan kepada para jurnalis
3. Mendorong Dewan Pers dan Polri melakukan evaluasi pelaksanaan dan sosialisasi MoU kedua lembaga karena faktanya ditataran paling bawah masih banyak anggota polisi yang tidak paham tugas-tugas jurnalis yang dilindungi oleh UU
4. Menegaskan bahwa melakukan intimidasi, kekerasan atau menghalang-halangi kerja jurnalistik adalah tindakan pidana sebagaimana tertuang dalam UU Pers No 40 tahun 1999
5. Meminta kepada aparat kepolisian agar ikut serta melindungi jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya
6. Mengimbau kepada semua pihak agar menghormati tugas-tugas para jurnalis
7. Meminta kepada para jurnalis untuk menjalanakan tugasnya secara profesional, berpegang teguh pada kode etik dan perundang-undangan yang berlaku serta mengutamakan keselamatan diri.

Jakarta 11 Oktober 2020

Pengurus Pusat
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)

Yadi Hendriana / Ketua Umum
Indria Purnama Hadi / Sekjen.

(Rilis IJTI)

 

 


  •  
  •  
  •  
  •  
  •   
  •  

Periksa Juga

Pilkada Serentak 2024, Dorong Penggunaan Alat Peraga Kampanye Ramah Lingkungan

        Pengunjung : 484 Palangka Raya, Betang.Tv – Memasuki masa kampanye pada pemilihan kepala daerah …